Yusup mengatakan, di NTB sendiri terdapat kurang lebih 45 hotel atau resort dengan keterlibatan warga negara asing dalam kepemilikannya. WNA tersebut berasal dari Belanda, Jepang, Amerika, Inggris, Perancis, Rusia, Swedia, Australia, Selandia Baru, Italia, Argentina dan Malaysia.
“Praktik nominee ini penting untuk dilarang karena membuat peranan investasi asing dalam mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi tidak optimal. Praktik ini akan membuat Indonesia mengalami repatriasi modal yaitu dengan teralihkannya keuntungan atas investasi Indonesia ke negara asal, serta kehilangan kesempatan untuk mendapatkan transfer pengetahuan dari perusahaan asing ke perusahaan dalam negeri,” kata Yusup.
Yusup mengatakan, praktik nominee juga berdampak pada penerimaan negara yang semakin berkurang maupun kesempatan berusaha bagi pelaku ekonomi domestik yang menjadi semakin terpinggirkan.
“Pembangunan hotel, vila dan resort yang dilakukan oleh warga lokal atau pun warga asing harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) agar keseimbangan ekosistem alam tetap terjaga. Selain itu, banyaknya wisatawan asing yang berkunjung ke NTB akan memberikan pengaruh terhadap budaya lokal dan ideologi Pancasila karena masuknya budaya-budaya dan ideologi barat yang dibawa oleh warga asing,” kata Yusup. (ahr)