Pertarungan Politik “Malu-malu Kucing”, Sebuah Sikap Pemicu Golput

oleh -814 Dilihat
oleh
ilustrasi: shutterstock.com

BOLMONG, Kroniktoday.com – Sengaja saya mengambil judul ini dalam tulisan sebab istilah “malu-malu kucing” dalam dunia politik, bagi saya, merujuk pada perilaku atau sikap politik seorang figur yang tampak ragu-ragu, tidak tegas, atau enggan menunjukkan keberanian dan komitmen yang jelas terhadap suatu posisi atau keputusan untuk maju sebagai peserta kontestasi.

Sikap politik “malu-malu kucing” sama halnya dengan tidak berani mengambil sikap tegas. Politisi yang “malu-malu kucing” seringkali tidak berani mengungkapkan posisi secara terbuka dan jelas. Mereka sepertinya cenderung menghindari pernyataan kontroversial atau keputusan yang bisa memicu kritik lebih awal dari rakyat.

Sisi lainya adalah berbicara ambigu. Mereka banyak menggunakan bahasa yang tidak jelas atau tidak pasti dalam pernyataan publiknya, yang dapat menyebabkan kebingungan atau ketidakpastian di kalangan pemilih atau anggota partai. Justru lebih banyak bersikap bahkan menampakkan diri adalah para barisan pendukung dan tim pemenangan saja, sementara kandidat belum berani tampil dengan memberi pernyataan ke publik.

Individu yang “malu-malu kucing” seringkali menghindari konflik atau pertentangan langsung, bahkan ketika mereka dihadapkan pada isu-isu penting atau krusial, akan cenderung menunda keputusan atau mencoba untuk menyenangkan semua pihak tanpa benar-benar mengambil sikap politik. Padahal, politis harusnya berani mengambil jalan kesatria dan sikap sejati.

Politisi dengan sikap ini mungkin juga enggan untuk mengungkapkan secara rinci rencana dan ide mereka karena khawatir tentang reaksi negatif atau kegagalan dalam implementasinya. Makanya, sampai saat ini semua belum ada yang pasti, siapa yang maju, berpas, tangan dengan siapa. Semua berproses sementara rakyat butuh kejelasan.

Secara umum, perilaku “malu-malu kucing” bisa diartikan sebagai cara untuk menghindari risiko atau tanggung jawab yang lebih besar dalam politik, dan sering kali dianggap kurang efektif dalam membangun kepercayaan dan dukungan dari publik. Padahal, rakyat sangat membutuhkan kepastian dan keberanaian dari masing-masing figur yang hari ini tampil berseliweran di sosial media, untuk menyatakan diri.

Publik pun tergiring dan menjadi ragu bahkan apatis dengan kondisi ini. Jika tidak segera diantisipasi oleh para figur yang akan tampil bertarung, maka kondisi ini bisa memicu tingginya angka golongan putih (Golput) di Pilkada. Sebab, rakyat disuguhkan dengan kondisi politik yang tidak pasti bahkan cepat mengalami proses berubah-ubah.

Sejumlah berita diberbagi media mengenai Pilkada terkesan menunjukkan dinamika politik yang menarik, padahal menurut saya, semua yang disajikan adalah informasi yang berangkat dari subjektifitas, bukan dari para peserta langsung. Yang disajikan adalah deretan kalkulasi politik yang tak pasti. Pada perhelatan Pilkada kali ini, tampaknya tidak ada kandidat yang berani sesumbar atau mengeluarkan klaim-klaim besar mengenai kesiapan diri untuk maju ambil bagian dalam pertarungan. Semua masih sebatas wacana.

Bahkan, saya menilai, atmosfir politik serba tak pasti saat ini, hanya dijadikan wadah bagi segelintir individu untuk membentuk sikap eksistensi agar diketahui masyarakat masih ada dalam dunia politik. Hal ini benar-benar mencerminkan kondisi politik yang lebih hati-hati dan penuh pertimbangan.

Saya beranggapan, beberapa faktor mungkin memengaruhi fenomena politisi tidak berani terbuka saat ini. Pertama, ketidakpastian politik seringkali membuat kandidat enggan membuat pernyataan yang terlalu berani. Seperti banyak Pilkada lainnya, melibatkan banyak variabel dan dinamika lokal yang sulit diprediksi dengan pasti. Kandidat mungkin memilih untuk menjaga profil rendah dan fokus pada kampanye berbasis isu dan program kerja melalui pemanfaatan media sosial dalam waktu yang singkat.

Kedua, masyarakat mungkin semakin cerdas dan kritis terhadap janji-janji politik. Pengalaman sebelumnya dengan janji-janji yang tidak terealisasi bisa membuat pemilih lebih skeptis terhadap pernyataan yang terlalu mengada-ada. Dalam konteks ini, kandidat yang lebih realistis dan berfokus pada solusi konkret mungkin lebih dihargai. Apalagi kandidat yang dari awal sudah mendeklarasikan diri sebagai pasangan calon.

Ketiga, partai politik dan kandidat juga mungkin menghadapi tantangan dengan persaingan yang ketat terjadi di internal dan kemungkinan adanya berbagai kepentingan lokal yang harus diperhitungkan, menyampaikan klaim besar tanpa dasar yang kuat bisa berisiko menimbulkan backlash publik secara nyata.

Secara keseluruhan, situasi ini menggambarkan perubahan dalam cara kandidat mengelola kampanye mereka. Alih-alih menggunakan retorika yang bombastis, mereka malah lebih memilih untuk tidak menunjukkan kredibilitas melalui tindakan yang terbuka dan sikap politik yang jelas. Ini bisa menjadi indikasi negatif bagi kualitas demokrasi lokal, di mana substansi dan integritas pernyataan politik tidak diutamakan.

Perilaku politik “malu-malu kucing” memiliki beberapa kelemahan yang dapat berdampak negatif baik bagi politisi itu sendiri maupun bagi pemilih. Seperti kurangnya sikap kepemimpinan yang jelas. Bila di deskripsikan, politisi yang cenderung “malu-malu kucing” seringkali tidak menunjukkan kepemimpinan yang jelas atau tegas. Mereka terkesan cenderung ragu-ragu dalam mengambil keputusan atau menyampaikan sikap terbuka sebagai kandidat.

Kondisi seperti ini dapat menyebabkan kebingungan di kalangan pemilih mengenai posisi dan tujuan politik mereka. Kepemimpinan yang tidak berani terbuka dengan sikap politik di Pilkada, dapat mengurangi kepercayaan publik dan menghambat niat pemilih untuk bersedia memberikan dukungan.

Ketika politisi tidak berani mengungkapkan pandangan atau keputusan secara terbuka tentang sikap politiknya, pemilih akan menganggap figur yang tampil tidak konsisten atau tidak dapat dipercaya. Pemilih bisa saja merasa ragu untuk memberikan dukungan karena mereka tidak yakin apakah politisi tersebut akan memenuhi janji atau komitmen yang dibuat? Sebab pada awal-awal pun masih bersikap malu-malu untuk menyatakan diri secara terbuka ke publik tentang kesediaan menjadi calon kepala daerah.

Politisi yang tidak tegas dalam sikapnya mungkin kesulitan dalam menggalang dukungan dan membangun koalisi yang solid. Apalagi waktu untuk pelaksanaan Pilkada bagi saya sudah sangat singkat hingga menuju hari pemilihan. Dampaknya, efektivitas kampanye sangat terbatas dan kemampuan untuk menarik pemilih yang mungkin mencari kepastian dan kejelasan pada pemimpin yang mereka dukung, tidak ditemukan dalam waktu yang cepat, sehingga ini juga mempengaruhi keputusan politik pemilih dalam memberikan dukungan.

Dengan menghindari posisi yang jelas atau tidak memberikan keputusan yang tegas dan terbuka kepada publik, pemilih mungkin melihat ini sebagai tanda bahwa politisi tidak siap menghadapi tantangan atau memikul tanggung jawab yang datang dengan jabatan publik. Politisi yang “malu-malu kucing” mungkin tidak memberikan solusi konkret untuk masalah-masalah yang ada, melainkan berbicara dalam istilah yang umum atau ambigu. Pemilih meraskan langsung kurangnya informasi yang jelas tentang siapa figur yang benar-benar siap maju dalam perhelatan politik Pilkada.

Dengan fenomena politik saat ini, pemilih merasa bingung tentang posisi siapa yang sebenarnya berkeinginan dengan sungguh-sungguh mencalonkan diri di Pilkada. Sajian ketidakpastian yang pemilih peroleh, bisa membuat pemilih merasa tidak yakin tentang mana kandidat yang benar-benar dapat diandalkan.

Jika pemilih merasa bahwa kandidat tidak jelas atau tidak berani berkomitmen dan menyatakan diri untuk siap maju dalam Pilkada, mereka pasti kurang termotivasi untuk terlibat dalam proses pemilihan atau bahkan memilih untuk tidak memilih sama sekali. Situasi politik akan terasa bukan hal yang penting lagi bagi pemilih, sebab kondisi ini dibangun dengan situasi ketidakpastian sikap bagi para figur.

Ketika pemilih merasa bahwa politisi tidak jelas atau tidak tegas memberikan pernyataan kepada publik, hal ini dapat menyebabkan penurunan tingkat kepercayaan terhadap sistem politik secara keseluruhan. Mereka pasti akan merasa bahwa semua politisi tidak benar-benar berbeda atau bahwa proses politik tidak efektif karena semua proses terjadi secara sembunyi-sembunyi.

Jika politisi tidak segera mengambil posisi yang tegas dan memberikan solusi atas kebimbangan informasi yang berkembang di masyarakat, maka dapat dipastikan angka golput akan meningkat juga.

Kepada para figur, dan untuk para bakal calon, beranilah menyatakan diri kepada publik tentang kesiapan sebagai calon kepala daerah agar rakyat tidak disuguhkan dengan kebimbangan setelah mendapat informasi yang tidak pasti. 

Berikan pernyataan yang jelas dan benar meski tanpa melakukan deklarasi, tanpa melakukan konvoi, sebab yang dibutuhkan saat ini oleh rakyat adalah kejelasan sikap, maju atau tidak. Berani maju atau hanya bual-bual yang bertujuan menegakkan eksistensi diri dalam dunia politik. Rakyat butuh kejelasan siapa sebenarnya yang benar-benar berani maju di Pilkada dan bukan sekadar menjadi penggembira saja. (lix)

 

No More Posts Available.

No more pages to load.