Front Terbuka! Fraksi Restu dan Hanura Buka-Bukaan di Paripurna, Soroti Mutasi ASN

oleh -347 Dilihat
oleh

KRONIKTODAY.COM – Polemik mutasi atau “rolling” Aparatur Sipil Negara (ASN) kembali menjadi tajuk panas dalam Rapat Paripurna DPRD Kotamobagu yang membahas Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Wali Kota Tahun 2024. Kali ini, sorotan tajam datang dari sejumlah fraksi di DPRD, yang menilai proses mutasi ASN tidak sesuai dengan prosedur, bahkan dianggap mencederai prinsip penempatan berbasis kompetensi.
Interupsi dimulai dari Fraksi Hanura, melalui Panji Merdeka Putra, yang mempertanyakan dasar hukum dan mekanisme yang melatarbelakangi mutasi ASN belakangan ini.

“Kami mempertanyakan dasar dan mekanisme rolling yang dilakukan, karena banyak yang dipindahkan tanpa melalui proses yang jelas,” tegas Panji dalam forum tersebut. Kritik ini menggambarkan kekecewaan terhadap praktik birokrasi yang tidak hanya berpotensi merugikan ASN bersangkutan, tetapi juga menimbulkan kegaduhan di internal pemerintahan.

Fraksi Restorasi dan Persatuan (Restu) juga menyuarakan hal yang sama. Deddy S. Pontoh mencontohkan kasus tenaga medis berinisial AS, yang dipindahkan dari Puskesmas ke Kantor Kelurahan.

“Ada yang dimutasi dari tenaga medis pindah ke kantor kelurahan Tumubui. Seorang tenaga medis bertugas di kantor kelurahan, kan lucu,” ungkap Deddy, yang menekankan pentingnya penempatan ASN sesuai dengan kompetensi dan latar belakang pendidikan.

Sebagai anggota DPRD, Panji dan Deddy menjadi alarm serius bagi Pemerintahan Weny Gaib-Rendy Mangkat, bahwa mutasi ASN tanpa analisis kebutuhan bisa berdampak negatif pada efektivitas pelayanan publik.

Lebih kontroversial lagi, ASN tersebut sebelumnya juga sudah dimutasi dalam waktu kurang dari satu bulan, menimbulkan kesan “asal pindah” tanpa pertimbangan matang. Fraksi NasDem bahkan menegaskan bahwa mereka akan mengawal proses ini secara serius dan menuntut transparansi atas seluruh kebijakan mutasi yang dikeluarkan.

Merespons berbagai kritik tersebut, Wakil Wali Kota Kotamobagu, Rendy V. Mangkat, menanggapi dengan pernyataan terbuka. Dia menyambut baik semua masukan dan menjanjikan tindak lanjut melalui laporan tertulis ke DPRD. Sikap ini patut diapresiasi sebagai bentuk komunikasi politik yang terbuka, namun tetap menyisakan pertanyaan, apakah evaluasi ini akan benar-benar mengarah pada pembenahan sistemik, atau hanya bersifat administratif?

Jika komitmen tersebut tidak diikuti dengan tindakan nyata, pernyataan ini akan berakhir sebagai respons normatif belaka — sesuatu yang kerap terdengar di ruang-ruang sidang legislatif, namun jarang membuahkan reformasi berarti di lapangan.

Isu ini tidak hanya menjadi perdebatan di ranah legislatif. Lembaga swadaya masyarakat seperti Lembaga Antik Korupsi Indonesia (LAKI) dan Lembaga Pemantau Pelayanan Publik Totabuan (LP3T) juga angkat suara. Mereka menilai kebijakan rolling ASN yang tidak berlandaskan kajian teknis dan kebutuhan real di lapangan berpotensi menurunkan kualitas pelayanan, bahkan membuka celah praktik maladministrasi dan abuse of power.

Rotasi ASN memang adalah hak prerogatif kepala daerah, namun hak tersebut harus dijalankan dengan prinsip kehati-hatian, meritokrasi, dan transparansi. Ketika seorang tenaga kesehatan dipindahkan ke posisi administratif tanpa alasan yang kuat, publik berhak mempertanyakan motif di baliknya — apakah murni karena kebutuhan organisasi, atau ada campur tangan non-teknis seperti loyalitas politik?

Jika pola mutasi seperti ini dibiarkan, akan terbentuk preseden buruk: bahwa posisi dalam birokrasi bukan lagi soal kompetensi, tapi soal siapa dekat dengan siapa. Dan ini adalah racun bagi reformasi birokrasi.

Langkah selanjutnya harus lebih dari sekadar laporan evaluasi. Pemerintah Kota Kotamobagu perlu melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh kebijakan mutasi ASN dalam satu tahun terakhir. Jika ditemukan pelanggaran prosedural atau indikasi penyalahgunaan wewenang, harus ada mekanisme koreksi dan pertanggungjawaban.

Kotamobagu butuh birokrasi yang bekerja berdasarkan kapasitas, bukan kedekatan. Dan jika mutasi ASN menjadi alat kompromi politik, maka bukan hanya ASN yang dirugikan — masyarakat juga akan menerima dampaknya dalam bentuk pelayanan publik yang stagnan dan tidak efektif.

Sebelumnya, Kepala Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Kota Kotamobagu Drs Deevy Ritha Rumondor saat dikonfirmasi mengatakan, tidak ada unsur politik dalam proses mutasi yang terjadi.

“Jadi saya mau jelaskan, pegawai punya aplikasi siap ASN. Sebelum saya disini sudah ada. Itu memuat data pokok kepegawaian, data pribadi, data keluarga, pendidikan, jenjang jabatan dan data lainya terkait dengan kepegawaian. Setiap pns diberi akses, ada paswor bisa masuk anytime dia melakukan peremajaan data. Yang bersangkutan juga diberi akses untuk perubahan data mandiri. Admin hanya 1 untuk ribuan pegawai,” jelasnya.

Menurut Deevi Ritha Rumondor, data pns yang ada diaplikasi, menjadi dasar dalam pengambilan keputusan bagi pimpinan.

“Kalau data itu tidak sesuai, maka pengambilan keptusan juga akan menyesuaikan dengan data yang ada itu. Karena data ini sumber pengambilan keputusan bagi pimpinan kalau ada mutase,” ujarnya.

Dia menambahkan, menyikapi persoalan yang muncul, sebaiknya sama-sama berbenah diri.

“Tidak mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Makanya di setiap instruksi di redaksi terakhir ada kalimat, apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya. Yang terjadi terlambat update data kepegawaian,” ungkap Deevy.

Namun dia menyampaikan pertimbangan normatif pasti ada.

“Makanya kami sedang cek kalau dia jabatan fungsional. Disetiap apel pagi kami selalu mengimbau pns melakukan pemutahiran data. BKPP bisa msuk akses semua akun asn, tapi admin hanya satu sementara asn di kotamobagu ribuan,” tutupnya. (ahr)

 

No More Posts Available.

No more pages to load.