Antri Pukul 04.00 WITA dan Kuota Minim, Penerima SimPel PIP Kecewa pada Layanan BNI Kotamobagu, Diduga Abaikan Prinsip Pelayanan Publik

oleh -80 Dilihat
oleh
Suasana pukul 04.00 Wita dini hari saat ratusan orang tua siswa dan para siswa berburu nomor antrian pelayanan aktivasi rekening simpel PIP di Bank BNI Koamobagu.

KRONIKTODAY.COM – Program Indonesia Pintar (PIP) merupakan program strategis pemerintah yang dirancang untuk memastikan anak-anak dari keluarga miskin dan rentan miskin tetap mendapatkan akses pendidikan yang layak. Melalui bantuan uang tunai yang disalurkan lewat rekening SimPel (Simpanan Pelajar) di bank penyalur, PIP diharapkan mampu mencegah putus sekolah sekaligus meringankan beban biaya pendidikan siswa dari jenjang SD hingga SMA/SMK, termasuk jalur nonformal dan pendidikan khusus.

Namun tujuan mulia program ini seolah berbanding terbalik dengan realitas pelayanan di lapangan. Pemandangan menyayat hati terlihat di halaman Kantor Bank Negara Indonesia Cabang Kotamobagu, Selasa (30/12/2025) dini hari. Sejak pukul 04.00 WITA, ratusan orang tua dan siswa penerima PIP terpaksa pulang dengan wajah kecewa lantaran tidak kebagian nomor antrian untuk aktivasi rekening maupun penarikan dana.

Ironisnya, sebagian besar warga telah datang dari wilayah yang cukup jauh, seperti Bolaang Mongondow Selatan, Modoinding, hingga Lolak. Ada yang berangkat sejak pukul 02.00 WITA, ada pula yang tiba selepas subuh, namun tetap tidak mendapatkan antrian pelayanan. Perjalanan jauh, waktu tempuh panjang, dan pengorbanan biaya transportasi seolah tidak berarti ketika kuota layanan telah habis sebelum matahari terbit.

“Saya sudah tiga kali datang sejak pelayanan aktivasi rekening dibuka, tapi tidak pernah dapat nomor antrian. Selalu datang pukul 04.00 WITA, tapi katanya sudah habis. Jadi bolak-balik tanpa hasil,” ujar seorang orang tua siswa dengan nada penuh penyesalan. Ia menilai pelayanan seharusnya dilakukan pada jam wajar dengan sistem yang lebih tertib dan tidak melelahkan masyarakat.

“Kami sangat kecewa. Antrian sudah dibuka sejak pukul 02.00 WITA, sementara kami datang dari jauh dan sudah tiga hari tidak terlayani. Ini bantuan pendidikan, tapi rasanya justru memberatkan,” tambahnya. Demi keselamatan, identitasnya disamarkan dengan nama Yunda.

Keluhan serupa juga disampaikan tiga siswa SMA Negeri 1 Kotamobagu yang ditemui wartawan. Mereka mengaku telah tiga kali mendatangi bank, namun selalu pulang tanpa kepastian.

“Setelah salat subuh kami datang, tapi nomor antrian sudah habis. Ini hari ketiga kami coba,” kata salah seorang siswa yang disamarkan dengan nama Fajri.

Di sisi lain, petugas Bank BNI yang berjaga di pintu masuk menjelaskan bahwa antusiasme masyarakat sangat tinggi. Menurut mereka, warga sudah mulai datang sejak pukul 02.00 WITA, dan pada pukul 04.00 WITA seluruh nomor antrian telah habis terbagi.

“Hari ini kami siapkan 80 nomor antrian aktivasi dan 60 untuk penarikan lewat buku rekening. Semua sudah terpenuhi. Yang belum dapat bisa datang besok atau Jumat, karena pelayanan masih dibuka,” ujar petugas.

Petugas tersebut juga mengungkapkan bahwa pembatasan kuota dilakukan karena pada hari-hari awal pelayanan terjadi lonjakan massa hingga ratusan orang, bahkan sempat menimbulkan desak-desakan dan insiden kecil.

“Awalnya sampai 200 orang, tapi membludak. Sekarang kami batasi demi keamanan. Program ini berlangsung sampai akhir Januari,” jelasnya.

Meski demikian, kondisi ini memunculkan pertanyaan serius soal prinsip pelayanan publik. Orang tua dan siswa penerima PIP harus kehilangan waktu istirahat, menghadapi risiko keselamatan di jalan karena berangkat dini hari, menanggung biaya bahan bakar, serta menguras tenaga dan emosi akibat bolak-balik tanpa kepastian. Situasi ini jelas bertolak belakang dengan semangat PIP yang seharusnya melindungi dan memudahkan kelompok masyarakat paling rentan.

Sebagai bank penyalur program bantuan pemerintah, BNI Cabang Kotamobagu dinilai perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pelayanannya. Mekanisme khusus yang lebih humanis, aman, tertib, dan berpihak pada penerima manfaat menjadi kebutuhan mendesak, agar bantuan negara benar-benar dirasakan sebagai solusi, bukan justru berubah menjadi beban baru bagi siswa dan orang tua yang memperjuangkan hak pendidikan anak-anak mereka. (ahr)

 

No More Posts Available.

No more pages to load.