“Sang Doktor” ditengah Rakyat, Sebuah Kritik Terhadap Politeia Karya Plato

oleh -248 Dilihat
oleh
Otak pohon dengan jubah kepala manusia, konsep pemikiran ide.

Penulis: Ali Kobandaha

Politeia, atau Republik, karya Plato, merupakan salah satu karya filsafat politik paling berpengaruh dalam sejarah. Dalam karya ini, Plato memaparkan visinya tentang negara ideal yang diperintah oleh para filsuf bijaksana.

Meskipun Politeia menawarkan banyak gagasan inovatif dan inspiratif, karya ini tidak luput dari kritik. Saya mencoba mengajak nalar kita semua untuk ikut bersama-sama dalam beberapa kritik yang diajukan terhadap Politeia: Ketidakadilan dan Elitisme; Sistem kasta yang digagas Plato dalam Politeia, dimana para filsuf menempati posisi tertinggi dan rakyat biasa hanya bekerja, ini dianggap tidak adil dan elitis. Saya berpandangan, sistem ini mengabaikan potensi dan kemampuan individu, serta membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan oleh para filsuf.

Selanjutnya, perempuan dalam politeia digambarkan sebagai makhluk yang lebih rendah dari laki-laki dan tidak memiliki peran penting dalam masyarakat. Mereka diharuskan untuk patuh dan tunduk kepada laki-laki, dan tidak memiliki akses terhadap pendidikan dan pelatihan yang sama. Pandangan ini dianggap seksis dan diskriminatif, bahkan bisa disebut penindasan terhadap hak kaum perempuan. Peran perempuan dalam Politeia nyaris tak terlihat. Mereka direduksi menjadi pelengkap reproduksi dan dipaksa tunduk pada otoritas laki-laki bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Pemikiran Plato gagal mengakui potensi dan kemampuan perempuan sebagai individu yang setara dengan laki-laki. Mengabaikan separuh populasi dalam membangun negara ideal merupakan kelemahan fatal yang menghambat kemajuan dan keadilan.

Selain itu muncul ketidakpraktisan: Negara ideal yang digambarkan Plato dalam Politeia dianggap tidak realistis dan sulit diwujudkan dalam praktik. Saya berpendapat bahwa gagasan Plato terlalu abstrak dan idealis, dan mengabaikan kompleksitas realitas sosial dan politik.

Plato tidak memberikan definisi yang jelas tentang konsep keadilan dalam Politeia. Hal ini membuat interpretasi karyanya menjadi ambigu dan terbuka terhadap berbagai penafsiran dan layak disebut ketidakjelasan tentang konsep keadilan.

Sistem yang digagas Plato dalam Politeia menekankan pada kepentingan kolektif dan negara di atas kebebasan individu. Namun, sistem ini terlalu paternalistik dan otoriter, dan mengabaikan hak-hak dan kebebasan individu.

Politeia merupakan karya yang kaya akan pemikiran dan gagasan inspiratif. Namun, penting untuk diingat bahwa karya ini juga memiliki keterbatasan dan kelemahan.

Selain kritik-kritik diatas, saya meyakini masih banyak aspek lain dari Politeia yang dapat dikaji dan didiskusikan. Pendapat saya, karya plato tentang Politeia membuka ruang bagi pemikiran kritis dan refleksi tentang konsep ideal negara, keadilan, dan peran individu dalam masyarakat.

Meski secara gamblang saya paparkan, namun kritik-kritik ini tidak dimaksudkan untuk merendahkan nilai Politeia sebagai karya filsafat. Justru, kritik ini bertujuan untuk mendorong pemahaman yang lebih mendalam dan kritis terhadap karya tersebut, serta memicu diskusi dan pemikiran yang lebih konstruktif tentang tema-tema penting yang diangkat oleh Plato.

Plato mencita-citakan negara ideal yang dipimpin oleh para filsuf-raja, kaum bijaksana yang mampu memerintah dengan adil dan berlandaskan akal. Namun, gagasan ini mengundang pertanyaan kritis: Mungkinkah kekuasaan absolut di tangan sekelompok kecil filsuf, terlepas dari kebijaksanaan mereka, tidak menjerumuskan negara ke jurang tirani? Tirani Filsuf-Raja: Jalan Menuju Distopia?

Sejarah telah menunjukkan berkali-kali bahwa kekuasaan absolut, bahkan di tangan orang yang dianggap bijaksana, dapat melahirkan korupsi, penindasan, dan kemunduran. Sistem Plato mengabaikan kerentanan manusia terhadap ambisi dan keserakahan, membuka celah bagi penguasa untuk memanipulasi dan mengeksploitasi rakyat demi kepentingan pribadi.

Konsep keadilan Plato dalam Politeia didasarkan pada pembagian kelas yang kaku, menempatkan filsuf di puncak hierarki sosial. Sistem ini, meskipun diklaim menjamin keadilan, pada hakikatnya elitis dan diskriminatif.

Keadilan sejati seharusnya berlandaskan kesetaraan dan penghargaan terhadap hak asasi setiap individu, terlepas dari kelas sosial atau latar belakang mereka. Sistem Plato mengabaikan prinsip ini, menciptakan jurang pemisah yang tidak adil dan memicu ketegangan sosial, ini bentuk keadilan yang tertutup dan elitis.

Negara ideal Plato, meskipun digambarkan dengan indah, terkesan utopis dan mengabaikan realitas kompleks kehidupan bermasyarakat. Sistem yang digagasnya terlalu abstrak dan idealis, mengabaikan keragaman, konflik, dan dinamika yang tak terelakkan dalam kehidupan sosial.

Sebuah teori politik yang ideal haruslah mampu beradaptasi dengan realitas dan menawarkan solusi praktis untuk permasalahan nyata. Politeia, dengan idealismenya yang kaku, gagal memenuhi aspek krusial ini.

Politeia menekankan keteraturan dan stabilitas sebagai fondasi negara ideal. Namun, demi mencapai tujuan ini, Plato rela mengorbankan kebebasan individu. Sistemnya membatasi ruang ekspresi, pilihan, dan otonomi individu, menciptakan masyarakat yang monoton dan tak dinamis.

Kebebasan merupakan hak asasi manusia yang fundamental. Mengorbankannya demi keteraturan, meskipun dengan tujuan mulia, adalah tindakan yang berbahaya dan kontraproduktif. Negara ideal harus mampu menyeimbangkan antara keteraturan dan kebebasan, bukan menindas salah satu demi yang lainnya.

Bagi saya, politeia menawarkan visi yang inspiratif tentang negara ideal, namun kritik rasional menyingkap kelemahan fundamentalnya. Sistem yang digagas Plato berpotensi melahirkan tirani, ketidakadilan, penindasan, dan stagnasi. Kritik ini bukan untuk merendahkan nilai Politeia, tetapi untuk mendorong pemikiran kritis dan membangun wacana yang lebih konstruktif tentang filsafat politik dan cita-cita masyarakat yang adil dan sejahtera.

Penting untuk diingat bahwa, kritik ini hanyalah satu sudut pandang seorang anak petani dari ujung Kecamatan Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow. Saya pun meyakini, masih banyak interpretasi dan perspektif lain yang dapat diajukan terhadap Politeia. Nalar yang kritis adalah langkah kemajuan pemikiran.

Objek tentang plato hanya bermain dalam tataran ide dan gagasan namun tidak merealitas di Bolmong. Meski demikian saya pengagum filsafat Plato dan pendukung “Sang Doktor”. 

“Sang Doktor” telah berbuat banyak untuk kepentingan rakyat, bukan plato!

 

 

No More Posts Available.

No more pages to load.