KUD Wajib Ganti Rugi atas Lahan Masyarakat di 100 ha, Tak Bisa Klaim Kepemilikan Hanya karena IUP

oleh -152 Dilihat
oleh

KRONIKTODAY.COM— Polemik kepemilikan lahan antara masyarakat dan Koperasi Unit Desa (KUD) Perintis kembali mencuat, menyusul sengketa tambang emas di wilayah IUP Operasi Produksi (IUP OP) milik KUD. Dokumen resmi menunjukkan bahwa izin IUP OP Nomor: 503/DPMPTSPD/IUP-OP/139/VIII/2020 tidak memberikan hak milik atas tanah, melainkan hanya izin melakukan kegiatan penambangan di atas lahan yang sebagian besar merupakan milik masyarakat.

Dalam izin tersebut secara eksplisit diatur bahwa pemegang IUP wajib memberikan ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah dan tanaman/tebakan yang terganggu akibat kegiatan operasi produksi.

Hal ini menegaskan bahwa keberadaan IUP tidak mengubah status kepemilikan tanah. Tanah tetap milik masyarakat, dan KUD sebagai pemegang IUP hanya memiliki hak untuk melakukan kegiatan penambangan, bukan hak milik atas tanah.

KUD bukan pemilik tanah, hanya pemegang izin menambang. Sejumlah pernyataan sepihak dari pengurus KUD yang menyatakan bahwa “seluruh lahan 100 hektare adalah milik KUD” jelas bertentangan dengan hukum. Berdasarkan hukum pertanahan di Indonesia, status hak atas tanah tetap tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 16 UUPA (UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria mengatur jenis-jenis hak atas tanah, seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan lainnya. IUP bukan merupakan jenis hak atas tanah.

Dalam pasal 135 UU Minerba No. 3 Tahun 2020, pemegang IUP wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak atas tanah sebelum melakukan kegiatan usaha pertambangan.

Pun, pasa pasal 136 UU Minerba, dikatakan, pemegang IUP wajib memberikan kompensasi kepada pemegang hak atas tanah apabila terjadi gangguan terhadap lahan akibat kegiatan pertambangan.

Sedangkan dalam permen ESDM No. 7 Tahun 2020 Pasal 46, pemegang IUP harus menyelesaikan hak atas tanah dengan masyarakat melalui kesepakatan atau ganti rugi sebelum mulai produksi.

Sehingga menjadi jelas bahwa IUP OP bukan dasar klaim kepemilikan lahan. Dan, penting dipahami bahwa IUP OP adalah izin usaha dari pemerintah, bukan sertifikat hak milik tanah. Klaim bahwa KUD berhak penuh atas 100 ha lahan karena mengantongi IUP adalah keliru dan menyesatkan.

Praktik semacam itu bisa memicu konflik lahan, memperbesar resistensi dari masyarakat, bahkan berpotensi memunculkan gugatan hukum terhadap KUD karena melanggar prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.

Masyarakat bersuara, lahan kami, bukan milik KUD. Beberapa warga di sekitar lokasi tambang menyatakan kekecewaan terhadap sikap KUD yang seolah-olah bertindak sebagai pemilik tunggal lahan.

“Kami tidak pernah menjual tanah ke KUD, tapi mereka melarang kami mengelola lahan sendiri. Padahal kami hanya ingin bekerja dan ikut aturan,” ujar salah satu warga.

Dalam konteks hukum, posisi sangat jelas bahwa lahan tetap milik masyarakat, KUD hanya memiliki izin menambang (IUP), bukan hak atas tanah. Kewajiban ganti rugi tidak bisa ditawar.

Jika KUD ingin memanfaatkan lahan untuk tambang, maka jalur yang sah adalah negosiasi dengan pemilik tanah, kesepakatan ganti rugi atau skema kerjasama yang saling menguntungkan.

Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa pemegang IUP OP harus menghormati hak-hak masyarakat pemilik lahan dan tidak menyalahgunakan izin sebagai dalih untuk mengklaim kepemilikan. Pemerintah daerah Bolaang Mongondow dan instansi terkait wajib turun tangan untuk menjaga keadilan dan mencegah konflik sosial yang lebih besar. (ahr)

No More Posts Available.

No more pages to load.