Catat! Pemegang IUP Bukan Pemilik Lahan, Rakyat Berdaulat atas Hak Kepemilikan Lahan

oleh -396 Dilihat
oleh

KRONIKTODAY.COM – Di berbagai wilayah Indonesia yang kaya sumber daya alam, konflik antara pemegang izin tambang (IUP) dan pemilik lahan semakin kerap terjadi. Di satu sisi, perusahaan atau koperasi tambang mengantongi izin resmi dari negara dalam bentuk IUP (Izin Usaha Pertambangan). Namun di sisi lain, masyarakat pemilik tanah — baik yang memiliki sertifikat hak milik maupun yang telah menguasai tanah secara turun-temurun — mendapati lahannya diklaim sepihak seolah-olah menjadi milik pemegang IUP.

Salah satu kesalahan yang terus berulang adalah anggapan bahwa pemegang IUP memiliki hak penuh atas tanah yang termasuk dalam wilayah izin operasinya. Padahal secara hukum, izin tambang bukanlah bukti kepemilikan tanah.

IUP (Izin Usaha Pertambangan) adalah izin yang diberikan oleh pemerintah kepada badan usaha, koperasi, atau perorangan untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan/atau produksi mineral dan batubara di wilayah tertentu.

Namun, IUP hanya memberikan hak untuk melakukan aktivitas pertambangan, bukan hak untuk memiliki tanah tempat tambang itu dilakukan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.Tidak ada satu pun ketentuan yang menyatakan bahwa IUP bisa menghapus atau mengesampingkan hak milik tersebut.
Dalam pasal 9 ayat (2) jelas bahwa tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Pasal ini menegaskan bahwa, pemegang IUP tidak memiliki kewenangan mengklaim bahwa IUP adalah kepemilikan hak atas lahan.
Pemegang IUP tak boleh melakukan monopoli, merampas, menguasai, melakukan diskriminasi bahkan upaya kriminalisasi pemilik lahan yang sah.

Dalam Undang-undang Minerba No. 3 Tahun 2020 menegaskan bahwa, pemegang IUP wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemilik tanah sebelum melakukan kegiatan. Pemegang IUP wajib memberikan kompensasi atau ganti rugi.

Permen ESDM No. 7 Tahun 2020 pun mewajibkan pemegang IUP menyelesaikan permasalahan lahan melalui kesepakatan, ganti rugi, atau mekanisme lainnya.

Putusan Mahkamah Agung RI (berbagai kasus sengketa tanah vs tambang) secara konsisten menyatakan bahwa hak atas tanah tidak hilang hanya karena wilayahnya termasuk dalam peta IUP.

Ketika pemerintah memberikan IUP kepada sebuah badan hukum, yang diberikan adalah izin untuk menambang, bukan sertifikat tanah. Karena itu, KUD, koperasi, atau perusahaan tambang tidak dapat mengklaim bahwa seluruh lahan dalam peta IUP adalah milik mereka secara hukum.

Lahan milik masyarakat, IUP milik KUD — dua hal yang berbeda secara prinsip dan hukum.

Kekeliruan pemahaman ini bukan hanya menyebabkan konflik hukum, tetapi juga memicu perampasan tanah secara halus. Di banyak kasus, masyarakat lokal dilarang mengakses atau mengelola tanah milik mereka sendiri, hanya karena ada perusahaan atau koperasi yang memegang IUP.

Sebagian bahkan diusir, diintimidasi, atau dipaksa tunduk pada sistem kerja yang tidak adil — padahal tidak pernah melepaskan hak milik mereka. Bahkan dipaksa diseret ke ranah hukum demi memuluskan rencana pemegang IUP untuk menguasai lahan milik masyarakat.

Izin tambang tidak dapat digunakan untuk mengklaim atau menguasai tanah milik masyarakat. Bahwa setiap pemegang IUP wajib menyelesaikan hak atas tanah. Dan bahwa masyarakat berhak mempertahankan tanahnya, selama belum ada pelepasan hak yang sah melalui mekanisme pembayaran ganti rugi.

Konflik antara pemegang IUP dan pemilik tanah adalah cermin dari buruknya pemahaman hukum. Ketika izin digunakan untuk menindas, hukum kehilangan maknanya. Karena itu, masyarakat berhak menuntut keadilan — dan negara wajib menegakkan hukum yang telah dengan jelas menyatakan: izin bukanlah kepemilikan. (ahr)

No More Posts Available.

No more pages to load.